Tuesday, January 8, 2019

REVIEW PERATURAN DESA GELARPAWITAN No. 01/Perdes-GP/IV/2003 Tentang PARTISIPASI WARGA DESA
DALAM PELESTARIAN HUTAN

Salam Sejahtera buat kita semua, dan semoga para pembaca diberikan kesehatan oleh Tuhan YME..


Tujuan Utama tulisan ini dibuat untuk memenuhi Syarat Masuk Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Kebijakan Peraturan Perundangan Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Medan

Musyawarah Desa Gelarpawitan tanggal 8 April 2003 yang membahas tentang penyusunan Peraturan Desa Gelarpawitan
Pembuatan perdes itu beranjak dari penilaian masyarakat soal fungsi mangrove yang sangat berguna bagi kelestarian lingkungan. Mereka menyadari, ekosistem mangrove dapat melindungi wilayah pesisir dan laut, sebagai penyedia sumberdaya perikanan laut dan wilayah penyangga.
“Perusakan hutan mangrove mengakibatkan potensi sumberdaya pesisir dan laut yang menjamin kehidupan masyarakat berkelanjutan makin terancam,” kata Ruslani Mokoginta, Sangadi (kepala desa) Deaga.
Pembuatan perdes itu, katanya, memiliki beberapa tujuan:
1. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang adil, menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat desa Deaga, terpenuhi.
2. Mewujudkan kelestarian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup dan sumberdaya alam desa. Ketiga, menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia maupun kelangsungan kehidupan makhluk hidup, serta kelestarian ekosistem mangrove.
“Perdes ini bertujuan melindungi, dan mendidik masyarakat bisa mengerti fungsi mangrove. Sebab, potensi perikanan bersumber dari perlindungan mangrove. Misal, kepiting dan kerang mangrove. Itu, kan, bisa meningkatkan ekonomi masyarakat,” katanya.
Dalam perdes ini, pemerintah desa menetapkan wilayah perlindungan mangrove (WPM) di empat titik, meliputi sebelah barat, utara dan timur dan selatan Desa Deaga. Luas diperkirakan 150 hektar.
  Masalah tersebut menggerakkan Masyarakat Desa serta Pemerintah Desa dibantu oleh beberapa komunitas pecinta alam yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Peraturan desa ini dinilai penting karena persoalan mangrove di kawasan pesisir tidak hanya menyangkut pelestarian lingkungan hidup tapi juga keberlanjutan penghidupan ekonomi masyarakat sekitar untuk mengolah dan memelihara hutan mangrove dan sekitarnya.

Hal tersebut membuat masyarakat mencari pekerjaan lain yang dapat menghasilkan dengan cepat. Dan pada saat itu tambak merupakan inovasi baru dalam usaha yang ada di tanakeke. Beberapa warga mengelola mangove untuk dijadikan tambak secara tradisonal. Awalnya mereka hanya membuat parit, membendungnya, lalu membiarkan bibit alami tumbuh di parit tersebut. Dengan demikian, pohon-pohon mangrove relatif tidak terganggu. Cara-cara tambak tradisional ini mulai berubah menjadi cara intensif setelah para pengusaha tambak datang ke wilayah tersebut pada Tahun 1980-an. Sejak itu hutan mangrove mulai mengalami kerusakan. Hal ini akhirnya mengubah pula persepsi mereka yang semula melihat mangrove sebagai tempat hidup menjadi mangrove sebagai lahan yang bisa dikomoditasi dan digunakan seenaknya.        


Sunday, January 6, 2019

ANALISIS PERATURAN DESA TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE TAHUN 2015, DESA DEAGA KABUPATEN MONGONDOW SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA


Tujuan Utama tulisan ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan Perundang - undangan Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Medan.


Masyarakat Desa Deaga, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), berupaya melindungi ekosistem mangrove. Pada awal Mei 2015, mereka mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) tentang Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pembuatan perdes selama lima bulan ini, melibatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh masyarakat, tokoh agama serta tokoh pemuda.
Pembuatan perdes itu beranjak dari penilaian masyarakat soal fungsi mangrove yang sangat berguna bagi kelestarian lingkungan. Mereka menyadari, ekosistem mangrove dapat melindungi wilayah pesisir dan laut, sebagai penyedia sumberdaya perikanan laut dan wilayah penyangga.
“Perusakan hutan mangrove mengakibatkan potensi sumberdaya pesisir dan laut yang menjamin kehidupan masyarakat berkelanjutan makin terancam,” kata Ruslani Mokoginta, Sangadi (kepala desa) Deaga.
Pembuatan perdes itu, katanya, memiliki beberapa tujuan:
1. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang adil, menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat desa Deaga, terpenuhi.
2. Mewujudkan kelestarian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup dan sumberdaya alam desa. Ketiga, menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia maupun kelangsungan kehidupan makhluk hidup, serta kelestarian ekosistem mangrove.
“Perdes ini bertujuan melindungi, dan mendidik masyarakat bisa mengerti fungsi mangrove. Sebab, potensi perikanan bersumber dari perlindungan mangrove. Misal, kepiting dan kerang mangrove. Itu, kan, bisa meningkatkan ekonomi masyarakat,” katanya.
Dalam perdes ini, pemerintah desa menetapkan wilayah perlindungan mangrove (WPM) di empat titik, meliputi sebelah barat, utara dan timur dan selatan Desa Deaga. Luas diperkirakan 150 hektar.

Menurut Ruslani(Kepala Desa Deaga), penetapan WPM untuk melindungi daerah pesisir pantai dari berbagai kegiatan perusakan yang mengancam kelestarian pesisir pantai dan keselamatan pemukiman masyarakat. WPM juga dilindungi daerah tabungan ikan dan pelindung pantai serta keragaman hayati terumbu karang.
“WPM akan jadi bagian rencana tata ruang desa. Penetapan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan, sambil mempertimbangkan karakteristik ekosistem mangrove serta aspek-aspek flora dan fauna, sosial budaya, dan kelembagaan masyarakat.”
Masyarakat, katanya, secara terbatas diberi izin memanfaatkan mangrove guna memenuhi kebutuhan, seperti, pembibitan untuk rehabilitasi mangrove, pemanfaatan kayu secara terbatas untuk keperluan rumah tangga, serta memanfaatkan buah mangrove sebagai makanan olahan.
Pengambilan atau penebangan mangrove hidup atau utuh dinyatakan sebagai tindakan perusakan. Tak diizinkan pula, alih fungsi lahan untuk tambak atau percetakan sawah baru.
“Pemanfaatan mangroves untuk kayu bakar hanya bisa pada yang sudah mati, kering, batang yang patah atau roboh.”
Sesuai tercatat dalam perdes, mangrove mati bisa dimanfaatkan masyarakat.Masyarakat, memanfaatkan daun nipa untuk atap dan dinding bagian belakang rumah. Mereka juga meggunakan air nipa untuk membuat gula mangrove.
Dalam pembuatan perdes ini, pemerintah desa didukung Perkumpulan Kelola dan Mangrove For the Future (MFF). Selain itu, dalam satu tahun, sudah rehabilitasi mangrove di desa ini, salah satu penanaman Rhizopora 4.000 bibit di bagian utara hutan mangrove Desa Deaga. Di sini, mangrove mati alami karena banjir dan kencing kelelawar.
“Area yang ditanami sekitar satu hektar. Pemilihan jenis ini sesuai indikator biologis lokasi itu,” kata Yakob Botutihe, staf lapangan Perkumpulan Kelola.
Perlu pemukiman
Hutan mangrove di Desa Deaga termasuk dalam Hutan lindung Kombot. Luasan hutan mencapai 800 hektar, melingkupi tiga kecamatan yaitu, Pinolosian, Pinolosian Tengah dan Pinolosian Timur.
Meski termasuk hutan lindung, warga Deaga perlu pemukiman karena wilayah mereka tidak mencukupi. Maxi Limbat, Kepala Dinas Kehutanan Bolsel, menyatakan, berusaha mengkomunikasikan keinginan ini kepada kementerian. “Kesempatan perubahan RTRW itu lima tahun, jadi kemungkinan tiga tahun kedepan sudah bisa kami ajukan.”
“Ada kemungkinan. Tergantung kebutuhan. Kalau memang vital, sudah tidak ada pilihan lain. Namun kementerian meminimalisir alih fungsi lahan.”
Kondisi hutan mangrove di Bolsel, relatif baik. Sebagian besar masyarakat peduli dengan mangrove berkat kerja sama antara pemerintah, LSM dan masyarakat.
“Hutan mangrove tidak cuma di Deaga, ada lebih 1.000 hektar di Bolsel. Apalagi, mangrove di Bolsel relatif baik dibanding daerah-daerah lain,” katanya. “Kita harus pertahankan agar kerusakan bisa ditekan. Pemerintah kabupaten akan buat perda mangrove agar perlindungan bukan cuma di desa tetapi di Bolsel.”
     Peraturan desa seperti ini yang berpengaruh melindungi sistem kelola serta kelestarian bagi lingkungan haruslah terus digalakkan, teringat bahwasanya sangat banyak kasus kasus yang mengakibatkan kerusakan lingkungan . 
Salah satu penyebab kerusakan lingkungan adalah kurang pedulinya masyarakat terhadap lingkungan, kurang nya sosialiasasi dari pemerintah terkait kelestarian lingkungan, kurangnya payung hukum yang bertindak tegas tentang masalah kelestarian lingkungan, hukumannya dan sebagainya.






Apabila kekurangan dalam tulisan ini Mohon Maaf.
Semoga Berguna, Terima Kasih. :)